
WELCOME TO MY BLOG :d :)
ABILITY AND CREATIVITY IS OUR LIVE ! SMK can be!
ZAKAT KONSEP HARTA YANG BERSIH
Oleh Masdar F. Mas'udi
Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan
memaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung
kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang penting
bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya
kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat"
itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagai
tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulit
orang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,
suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya
diperlihatkan juga.
Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan
sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak
masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain
(syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkara
mustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikan
shalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba
terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi
orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya.
Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di
alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya
pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara
terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi,
bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.
Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis
halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan
munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan
langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islam
datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh
manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja.
Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala
kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan
maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa
baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi
laiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa,
manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki
kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau
saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak
punya urusan.
Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran
yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul
(sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qul
artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya
bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam
ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir
dalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika
teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris
bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut
ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang
bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa
yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara
implisit haruslah ma'qul.
Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih
mendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa saja
mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul
untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu,
satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga,
yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, atau
keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada
pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya
rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi
itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi
hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.
Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber daya
materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan
meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian
rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan
tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan
serendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memiliki
bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi
agar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yang
lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula
dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di
bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja
membuntuti.
Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi
kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang
dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang
diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang
tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan
bersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan
berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia
mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran
lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan
pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang
dalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenal
dengan negara (state), dari sudut moral memang merupakan
anomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk
menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia,
yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.
Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral
hanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun
penawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yang
kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peran
terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem
hukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (seperti
satelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadi
alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnya
dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila
pernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia
yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaga
negara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit
ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx,
18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.
Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telah
lenyap berikut seluruh akar-akarnya.
Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak
sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan
seperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi
yang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya,
setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib
pajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat
kehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua
pihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya paling
diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,
atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?
Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara
yang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti
yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadap
negara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis,
seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gila
lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut
zaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulai
melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukan
penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki
absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak
(upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.
Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat
dalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang
pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan
rakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi,
kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih
sublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, di
negara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembaga
perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politik
kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah
sekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka
tetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan para
penguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan
Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada
hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.
Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi
lembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif)
memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalam
rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan
rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.
Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi
sepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baik
secara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapi
juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah,
yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang
paling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya
(eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada di
tangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah dan
terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yang
justru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia
diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.
Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam
alokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang
paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau
melayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melalui
sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi
kepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunan
sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalangan
masyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanja
yang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), sama
sekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika
yang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribu
sampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang
tuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwa
rakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki
negara.
Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak
orang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah
menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaum
lemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakat
bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah.
Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia
Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya
(charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yang
miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap
menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun
yang berupa pinjaman (loan).
Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni
untuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem
kenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memang
merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika
dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita
bahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi
kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan
rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka
(negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah
kepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau
pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politik
mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalangan
para kaya kapitalis, selaku cukongnya.
Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa,
sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat
bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikiran
kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranata
pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban)
sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jaman
ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya,
bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni
beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak
sampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur
yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orang
kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat
yang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinya
diprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah,
diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang
sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite
politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.
Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusi
kekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilan
sosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagi
terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak
ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk
mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi,
jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi ide
pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannya
mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari
kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok
tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini
jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaga
negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat
selingkuh. So, what?!
Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan
atau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya
tak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebih
luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun
konyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaga
negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama
belaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitas
manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan
besar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi
yang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi dengan
bercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun
--kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankan
jalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripada
diperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang
paling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yang
mengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengan
kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terus
menerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsu
jahat yang mengitarinya."
Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusia
tak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaga
negara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengan
sadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya,
lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh,
dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial
(amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agar
keberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi
kepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagi
kepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Dari
sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan
pemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingan
segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dan
kesejahteraan) bagi semuanya.
Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dan
kerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harus
diselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan
pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yang
sudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih dari
sepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu.
Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkin
merasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harus
berspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpa
keberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahan
itu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan,
apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.
sumber :http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Zakat-Masdar.html
SHALAT
Oleh Nurcholish Madjid
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits
Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban
peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem
keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang
dilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan
tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka
rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada
Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]
Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang
pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik
mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat
dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang
dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama
Islam." [4]
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang
tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal
seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua
bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan
dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika
disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik
terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap
menghadap Allah.
Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan
yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara
hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),
dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]
Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan
melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir
pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang
dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]
Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya
menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang
makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh
keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia
menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan
makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.
Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan
diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]
Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka
sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti
kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup
di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).
Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu
akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti
sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah
yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).
Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya
baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu
mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak
padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai
akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut
mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari
dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat
al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati
benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan
jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu
setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),
diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha
Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri
mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba
kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya
kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari
bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.
Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri
kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan
oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah
jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu
apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah
bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita
tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari
kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"
termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin
malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan
yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.
Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"
tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,
dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban
"berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya
di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita
menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras
mendekati Tuhan.
sumber :http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/ShalatN1.htm
Ilustrasi IP Addres dalam desimal dan biner dapat dilihat pada gambar 1 berikut :
Gambar 1. IP Address dalam Bilangan Desimal dan Biner
IP Address dapat dipisahkan menjadi 2 bagian, yakni bagian network (bit-bit network/network bit) dan bagian host (bit-bit host/host bit). Bit network berperan dalam identifikasi suatu network dari network yang lain, sedangkan bit host berperan dalam identifikasi host dalam suatu network. Jadi, seluruh host yang tersambung dalam jaringan yang sama memiliki bit network yang sama. Sebagian dari bit-bit bagian awal dari IP Address merupakan network bit/network number, sedangkan sisanya untuk host. Garis pemisah antara bagian network dan host tidak tetap, bergantung kepada kelas network. Ada 3 kelas address yang utama dalam TCP/IP, yakni kelas A, kelas B dan kelas C. Perangkat lunak Internet Protocol menentukan pembagian jenis kelas ini dengan menguji beberapa bit pertama dari IP Address. Penentuan kelas ini dilakukan dengan cara berikut : �
Jenis kelas address yang diberikan oleh kooordinator IP Address bergantung kepada kebutuhan instansi yang meminta, yakni jumlah host yang akan diintegrasikan dalam network dan rencana pengembangan untuk beberapa tahun mendatang. Untuk perusahaan, kantor pemerintah atau universitas besar yang memiliki puluhan ribu komputer dan sangat berpotensi untuk tumbuh menjadi jutaan komputer, koordinator IP Address akan mempertimbangkan untuk memberikan kelas A. Contoh IP Address kelas A yang dipakai di Internet adalah untuk amatir paket radio seluruh dunia, mendapat IP nomor 44.xxx.xxx.xxx. Untuk kelas B, contohnya adalah nomor 167.205.xxx.xxx yang dialokasikan untuk ITB dan jaringan yang terkait ke ITB dibawah koordinator Onno W. Purbo.
Address Khusus
Selain address yang dipergunakan untuk pengenal host, ada beberapa jenis address yang digunakan untuk keperluan khusus dan tidak boleh digunakan untuk pengenal host. Address tersebut adalah :
Kaitan antara host address, network address, broadcast address & network mask sangat erat sekali - semua dapat dihitung dengan mudah jika kita cukup paham mengenai bilangan Biner. Jika kita ingin secara serius mengoperasikan sebuah jaringan komputer menggunakan teknologi TCP/IP & Internet, adalah mutlak bagi kita untuk menguasai konsep IP address tersebut. Konsep IP address sangat penting artinya bagi routing jaringan Internet. Kemampuan untuk membagi jaringan dalam subnet IP address penting artinya untuk memperoleh routing yang sangat effisien & tidak membebani router-router yang ada di Internet. Mudah-mudahan tulisan awal ini dapat membuka sedikit tentang teknologi / konsep yang ada di dalam Internet.
sumber : http://www.klik-kanan.com
(c)2009 Guphil's. Blogger Templates created by Deluxe Templates